Oleh : Ubaidillah
Rosyid
Kader IMM Al-Idrisi
Fakultas Geografi
Mahasiswa Semester 2
Pesta demokrasi kampus
baru saja selesai digelar. Presiden Mahasiswa sudah terpilih. Sudah tidak ada
lagi hiruk pikuk yang terjadi terkait dengan Pemilwa (Pemilihan Umum Mahasiswa).
Tetapi tidak ada salahnya jika Saya kembali membahas tentang hal tersebut. Mungkin
bisa menjadi refleksi kita bersama sebagai mahasiswa.
Jika kita analogikan UMS sebagai
sebuah Negara, dalam Pemilwa kemarin, kita (rakyat) memilih seorang pemimpin
(presiden) yang akan memimpin kita. Saya melihat masih banyak ketidakpedulian
atau apatisme mahasiswa tentang hal ini. Jangankan visi-misi dari
capres-cawapres, siapa calonnya saja masih banyak mahasiswa yang tidak tahu. Bahkan
saking apatisnya, mereka bakal
berkata, “apasih efeknya buat aku ?” Lebih
parahnya lagi, ada mahasiswa yang mengatakan, “Aku nggak mau nyoblos siapapun, lha
wong nggak ada yang ngasih duit ke aku.” Itu merupakan pengalaman empiris
saat Saya coba mengajak beberapa kawan se-angkatan untuk ikut coblosan. Ironis bukan ?
Kalo kita menilik sejarah, pergerakan mahasiswa sudah ada sejak dulu.
Tahun 1966 mahasiswa melakukan mobilisasi besar-besaran menyerukan Tritura
(Tiga Tuntutan Rakyat) kepada rezim orde lama, yang dirasa sudah menyengsarakan
rakyat, itu sebagai tanda bahwa mereka memihak rakyat. Namun, saat terjadi
perpindahan kekuasaan dari rezim orde lama ke tangan orde baru, kesempatan
mereka untuk kembali menyuarakan kebenaran telah dibatasi, setelah diberlakukannya NKK-BKK oleh Daoed Joesoef tahun 1979. Nah, apatisme mahasiswa mulai muncul dan berkembang, saat tidak diberi tempat di dunia politik. Akhirnya orientasi mereka menjadi lebih sempit, hanya disibukkan pada dunia kuliah. Pergerakan mereka dibatasi, suara mereka dibungkam.
Ada juga beberapa faktor yang mendorong
hal tersebut. Mereka mungkin saja terbawa oleh arus kondisi politik nasional
lewat pemberitaan di media-media. Karena selama ini terlalu banyak berita buruk
tentang politik yang di expose.
Akhirnya stigma negatif yang terbangun di mindset
mereka, bahwa politik itu kotor, politik itu tai kucing, hanya janji palsu semata dan sebagainya. Walhasil ada semacam
trauma yang muncul untuk berpartisipasi di dalam proses politik kampus
khususnya. Disamping itu, paham hedonisme di kalangan mahasiswa masih menjadi
faktor utama penyebab apatisme. Mereka sibuk mencari kesenangan, sehingga tidak
tahu dan tidak mau tahu dinamika apa yang sedang terjadi di kampus. Di sisi
lain, menurut data yang saya dapat dari beberapa mahasiswa geografi,
sosialisasi tentang pemilwa dirasa masih kurang.
Pentingnya
politik
Ya, sebagai
mahasiswa memang tujuan utama kita adalah kuliah. Tapi apakah kita akan tetap acuh
tak acuh terhadap Pemilwa ? Jika kita kaji lebih jauh lagi dalam arti tataran
nasional, Indonesia adalah negara demokrasi, dimana konsep milik Abraham
Lincoln yaitu dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat berlaku dalam permainan
politik. Penentuan kebijakan dimainkan sepenuhnya oleh rakyat. Mau tidak mau kita
harus kritis dalam memilih dan tidak boleh salah pilih. Apakah Ibu-ibu bakul jamu atau bapak tukang parkir
disana kepikiran sampai kesitu ? Tentu tidak. Yang mereka pikirkan hanya
mencari nafkah yang halal, selesai. Sebagai rakyat berpendidikan, kita lah yang
akan memperjuangkan hak-hak mereka. Maka dari itu, disinilah letak fungsi
mahasiswa sebagai (yang katanya) agent of
social control. Nah, sebelum
menghadapi lingkup nasional, maka perlu pembelajaran dahulu. Kampus sebagai
miniatur negara adalah tempat yang sangat tepat untuk pembelajaran dan
pencerdasan kita dalam hal politik.
Pencerdasan
politik menjadi wajib hukumnya dalam kondisi demikian. Karena sebenarnya hal
yang menjadi permasalahan dasar adalah pandangan terhadap politik yang masih
sangat sempit. Akibatnya kita dengan mudah di intervensi politik dan terus
menerus dipolitisisasi alias dibodohi. Memang pendidikan politik secara formal
maupun tak formal di lingkungan fakultas kita masih minim. Maka, dengan tulisan
ini diharapkan ada pihak yang peka dan kemudian munculah sebuah rencana tindak
lanjut.
Ingat! Politik
tidak selalu negatif, jika kita mau mencintai politik dengan penuh kebijaksanaan.
Dan jika nggak mau di permainkan oleh
politik, makanya jangan takut untuk
belajar politik. Karena, politik merupakan ujung tombak dalam segala penentuan
kebijakan. HIDUP MAHASISWA ! haha
0 komentar:
Posting Komentar